Antara Dakwah dan Kekerasan???

Antara Da’wah dan Kekerasan

In Artikel on August 9, 2006 at 5:17 am

Antara Dakwah dan Kekerasan

fikar

Keberhasilan tersebarnya islam ke seantero dunia tidak lain adalah karena adanya dakwah yang dilakukan oleh Rasul serta Tabi’, tabi’in dan seterusnya. Telah tercatat dalam sejarah bahwa kelemahlembutan adalah faktor utama mudah diterimanya islam di hati para penghuni dunia, bukan dengan pedang atau kekerasan.


Hal ini dapat dilihat, Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya menguasai kembali kota Makkah (Fath Makkah) setelah berhijrah ke kota Madinah selama kurang lebih sembilan tahun, dan pada saat itu kaum musyrikin Makkah sudah tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawannya (padahal dahulunya ketika mereka berkuasa, sangat kejam terhadap Rasulullah dan para sahabatnya), beliau tetap memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada mereka untuk tetap menjadi kafir atau menjadi Muslim. Beliau bersabda: “Kalian bebas merdeka di muka bumi ini, tidak ada kedengkian dan hasud di antara kita.”

Tetapi apa yang terjadi? Ternyata dengan kebesaran jiwa beliau tersebut yang merupakan refleksi dan manifestasi dari ketinggian ajaran Islam, mereka semuanya secara sadar dan sukarela mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS An-Nsahr:1-3 : “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-Mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha penerima taubat”.

Dari pengalaman keberhasilan syiar islam yang banyak tercatat dalam sejarah tidak lain sebagai pedoman dan metode yang patut dicontek guna meraih kembali keberhasilan tersebut. Untuk itu ada baiknya ditinjau kembali metode-metode dakwah dan tetekbengeknya yang telah ditawarkan oleh islam dalam menunjang keberhasilan dakwah dan juga da’i.

Makna Dakwah

Kata “Dakwah” berasal dari kata “Da’a-yad’u” yang berarti memanggil, menyeru, mengajak atau berdoa. Namun pengertian umum dakwah yang dimaksud di sini adalah panggilan, seruan atau ajakan untuk menyeru manusia mengakui kebesaran Allah Yang Maha Kuasa serta perlunya manusia hidup berlandaskan peraturan yang ditetapkan berlandaskan al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini adalah inti pati dakwah bagi membina manusia yang bertakwa kepada Allah dalam arti kata yang sebenarnya dan seluas-luasnya.

Hukum Dakwah

Rasul-rasul tidaklah diutus melainkan dengan tugas-tugas mulia dan Allah mengamanahkan mereka supaya melaksanakan da’wah. Di dalam surah an-Nahl :36, Allah berfirman :”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus bagi setiap umat seorang Rasul yang menyeru: Sembahlah Allah serta jauhilah thaghut.”

Barang siapa yang melaksanakan tugas dakwah maka ia akan mendapat pujian dari Allah berdasarkan firman-Nya dalam surah Fusshilat : 33 :”Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada mereka yang menyeru manusia ke jalan Allah, beramal shalih dan berkata: aku adalah dari kalangan orang-orang yang berserah diri (Muslim).”

Berhubung dengan ayat ini as-Syeikh Said Hawwa di dalam al-Asas Fi at-Tafsir berkata:”Termasuk di dalam golongan ini adalah semua penyeru dan da’i di jalan Allah. Dan menurut Ibnu Katsir, orang yang tidak mengerjakan yang ma’ruf tidak termasuk dalam golongan yang mengajak kepada yang ma’ruf dan juga tidak termasuk dalam golongan mereka yang mencegah kemungkaran “

Oleh kerana dakwah adalah tugas yang mulia dan penting, Allah memerintahkan umat Islam melaksanakannya. Sebagaimana dalam surah Al Imran :110, Allah berfirman:”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada ma’ruf, dan mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah.”

Di dalam kitab Usul ad-Da’wah, Dr. Abdul Karim Zaidan berpendapat ayat ini mempunyai dua penekanan. Pertama, Allah menjelaskan kebaikan umat ini dan kedua, kebaikan umat ini berhubungan erat dengan pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi munkar. Berkaitan dengan ayat yang sama di dalam kitab Dalilul Falihin disebutkan:”Barang siapa menepati sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat ini, dia tergolong dalam golongan umat terbaik.”

Tidak ada kemuliaan bagi mereka yang mengabaikan amar ma’ruf serta nahi munkar. Ma’ruf adalah segala yang baik mengikut pandangan syara’ dan akal, sedangkan mungkar adalah hal-hal yang berlawanan dengan segala yang ma’ruf. Sebagai contoh, meninggalkan amalan fardhu atau pun melakukan perbuatan haram, baik berbentuk dosa kecil atau pun dosa besar.

Nabi SAW bersabda:”Barangsiapa antara kamu yang melihat kemungkaran hendaklah merubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu hendaklah merubahnya dengan kata-kata dan jika tidak berdaya hendaklah dicegah dengan hatinya, dan mencegah dengan hati adalah selemah-lemahnya iman.” (HR Imam Muslim).

Berhubung dengan mencegah kemungkaran, kadar minimum yang dituntut adalah mengingkarinya dengan hati. Di dalam kitab Dalil al-Falihin disebutkan:”Mencegah kemungkaran dengan hati bermaksud membencinya dengan hati disertai dengan niat untuk mencegahnya dengan lisan atau pun perbuatan apabila dia mampu. Membenci maksiat dengan hati hukumnya adalah wajib atas setiap individu dan barang siapa yang menyetujui suatu kemungkaran berarti dia bersekongkol dengannya.” . Karena Iman memerlukan bukti dan salah satu buktinya adalah membenci maksiat. Tanpanya, iman akan hilang bahkan mati dalam hati seseorang. Sebagaimana sabda Nabi :”(Jika hati seseorang tidak membenci kemungkaran), tidak ada setelah itu iman walaupun sebesar biji sawi.”(Bukhari, MUslim)

Secara dasarnya, hukum berdakwah dengan lisan dan tangan adalah wajib kecuali dalam situasi tertentu. Di dalam kitab Dalilul Falihin disebutkan:”Apabila dikuatirkan harta benda dan diri seseorang akan ditimpa kebinasaan, haruslah bagi seseorang itu sekedar melawan dengan hatinya saja. Jika kekhawatiran ini tidak ada, dia diwajibkan berdakwah, walaupun dia belum mengamalkan apa yang diserukannya atau pun dia menyadari seruannya tidak akan diterima.”

Sehubungan dengan ini, Imam Ghazali di dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskankan empat keadaan yang mungkin ditempuh oleh para da’i.

1. Tidak wajib berdakwah

Seorang da’i menyadari da’wahnya tidak akan mendatangkan manfaat dan berkemungkinan dia akan dipukul atau dibunuh. Dalam keadaan seperti ini, tidak wajib baginya melaksanakan dakwah.

2. Wajib berdakwah

Seorang da’i menyadari dakwahnya dapat menyebabkan kemungkaran tersebut tercegah dan tidak ada seorang pun yang berani melakukan tindak kejam atasnya. Dalam suasana seperti ini, dia wajib melaksanakan dakwah.

3. Sunah berdakwah

a. Jika da’i menyadari dakwahnya tidak akan mendatangkan kesan positif dan dia sanggup memikul segala macam bentuk resiko yang mungkin menimpa atas dirinya. Dalam situasi seperti ini, dia disunahkan menyampaikan dakwah tetapi tidak diwajibkan atasnya.

b. Jika da’i menyadari dakwahnya akan memudharatkan dirinya tetapi jika dilakukan juga ia dapat mencegah kebathilan yang sedang melanda. Dalam keadaan seperti ini, dakwah disunahkan atasnya.

Metode Dakwah Dalam Islam

Dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya kehidupan umat Islam, telah diketahui bahwa dakwah mempunyai kedudukan yang amat penting. Dengan dakwah, dapat disampaikan serta dijelaskan mengenai ajaran Islam kepada masyarakat dan umat sehingga mereka dapat mengetahui mana yang benar (haq) atau salah (batil).Peranan dakwah bukan hanya sebatas agar umat dapat mengetahui dan membedakan tetapi dakwah juga dapat mempengaruhi masyarakat untuk menyukai hal-hal yang baik serta dapat menjauhi apa saja yang tidak benar yang terjadi dalam masyarakat. Sekiranya ini dapat diwujudkan dalam masyarakat Islam, sudah tentu hasrat kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat dapat dicapai.

Metode dakwah telah dirincikan dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman:”Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. ( an-Nahl : 125).

Para pakar tafsir berbeda pendapat mengenai asbab an-nuzul (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah SAW menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah .

Al-Qurthubi menyatakan bahawa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah SAW untuk melakukan gencatan senjata (muhâdanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, As-Suyuthi tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi asbab an-nuzûl ayat tersebut.

Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim maupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan asbabul nuzûl-nya (andaikata ada asbab an-nuzûl-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum, setelah kalimat ud’u (serulah) tidak disebutkan siapa objek (maf’ull bih)nya. Ini adalah uslub (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).

Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam.

Ayat di atas menerangkan tiga metode (thariqah) dakwah, yakni cara mengembangkan dakwah dalam menyerukan Islam kepada manusia. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda.

1. Dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath’i ataupun zhanni) sehingga menunjukkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran. Cara ini ditujukan kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna, seperti para ulama, pemikir, dan cendekiawan.

2. Dengan maw’izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan). Misalnya, dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujian) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah. Cara ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.

3. Dengan jadal (jidal atau mujadalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lemah dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar. Dari segi topik, semata-mata tertumpu pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang peribadinya. Dari segi hujjah, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran. Cara ini dituju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw’izhah hasanah.

Pada bagian akhir ayat tersebut memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan . Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang mendapat hidayah maupun yang tersesat.

Sebahagian ulama seperti al-Qurthubi dan al-Baghawi berpendapat, ayat ini telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat perang, jika yang menjadi sasaran dakwah adalah orang kafir. Namun, yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama, yang mengatakan ayat ini muhkam (tidak di-nasakh), dan tetap kepada sasaran dakwah yang Muslim ataupun kafir.

a. Makna Hikmah

Sebagian mufassir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran. Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah. Penafsiran tersebut nampaknya masih umum. mufassir yang lain pun menafsirkan hikmah secara lebih terperinci, yaitu sebagai hujjah atau dalil. Sebahagian dari mereka mensyaratkan hujjah itu haruslah bersifat qath’i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath’i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yaitu penjelasan yang menghilangkan kesamaran. An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath’i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan. An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath’i yang dapat menghasilkan keyakinan. Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzih li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqalah al-muhakkamah ash-shahihah).

Kesimpulannya, jumhur mufassir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil. Dari ungkapan para mufassir di atas juga dapat diketahui bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebabnya, para mufassir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang terperinci, yaitu golongan yang mempunyai kemampuan berfikir secara sempurna.

b. Makna maw’izhah hasanah

Sebagian mufassir menafsirkan maw’izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara umum, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawa’izh al-Qur’an). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga bermakna perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqiq).

Memperincikan tafsiran umum tersebut, para mufassir menjelaskan sifat maw’izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan bekas nasihat itu yang tertuju kepada akal. Sayyid Quthub menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ila al-qulub bi rifq). An-Nisaburi menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalail al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdiq) berdasarkan dalil dalil yang yang telah diterima.

Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan maw’izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithabat al-muqni’ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-’ibar al-nafi’ah). An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amarat azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan. Al-Khazin menafsirkan maw’izhah hasanah dengan targhib (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhib (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).

Dari pelbagai tafsir itu, karakteristik nasihat yang tergolong maw’izhah hasanah ada dua pokok utama:

Menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufassir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalail (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithab (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.

Menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufassir mensifatkan dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalail iqna’iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan). Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithabat al-muqni’ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqna’) jelas tidak akan wujud tanpa proses kebenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil. Di antara cara untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhib dan tarhib, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin. Seruan dengan maw’izhah hasanah ini tertuju pada umumnya masyarakat, yakni dengan kemampuan berfikirnya tidak secepat golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

c. Makna jidal billati hiya ahsan

Sebahagian mufassir memberi makna jidal billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara umum. Misalnya Al-Fairuzabadi, beliau menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Tauhid. Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.

Pada penafsiran yang lebih terperinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufassir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing. Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek:

1. Dari segi cara (uslub), sebagian mufassir menafsirkan jidal billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.

2. Dari segi topik (objek) debat, sebagian mufassir menjelaskan bahwa jidal billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang peribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidal billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardil) atau mencela (taqbih) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran (Fi Zhilal al-Qur’an, XIII/292).

3. Dari segi hujjah, sebahagian mufassir menjelaskan bahawa hujjah dalam jidal billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan hujjah lawan (yang batil) dan menegakkan hujjah kita (yang haq). Imam an-Nawawi al-Jawi (Marah Labid, I/517) menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhamuhum wa ilzamuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya). Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz (Ruh al-Ma’ani, V/487).

Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal utama: menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (Lihat: al-Baqarah : 258). Seruan dengan jidal billati hiya ahsan tertuju kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan mendebat.

Jika kita hendak menjelaskan wajibnya menegakkan Khilafah Islamiyah, misalnya, kita dapat menggunakan cara hikmah, jika kita berdakwah kepada ulama, intelektual, pemikir, dan sebagainya, dalam forum yang khusus dan terbatas (bukan forum umum). Di sana dapat dijelaskan wajibnya Khilafah secara detil dan mendalam, misalnya dengan menerangkan definisinya, berbagai definisi Khilafah dan tarjih (analisis)-nya; dalil-dalil kewajibannya secara terperinci dari ayat al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, Qawa’id Syar’iyyah, termasuk juga wajh istidlal (cara penyimpulan hukum dari dalilnya) sesuai dengan disiplin ilmu usul fiqh; berbagai pendapat ulama salaf dan khalaf mengenai wajibnya Khilafah, kitab-kitab rujukannya, termasuk bantahan terhadap pendapat yang mengingkari wajibnya Khilafah, baik pendapat dari orang terdahulu maupun sekarang.

Kepada masyarakat awam, dalam forum-forum yang umum dan terbuka, ditempuh cara maw’izhah hasanah. Di sini tetap harus dijelaskan wajibnya Khilafah beserta dalil-dalilnya, hanya saja tidak sedalam penjelasan kita kepada golongan yang diseru dengan hikmah di atas, disertai dengan targhib dan tarhib untuk menyentuh perasaan mereka, misalnya disampaikan hadis sahih riwayat Imam Muslim, bahawa siapa saja yang tidak berbaiah kepada Khalifah, dia akan mati jahiliyyah.

Adapun kepada para penentang Khilafah, seperti kaum sekuler dan liberal, ditempuh cara jidal billati hiya ahsan, baik dalam forum khusus maupun umum. Kita berbicara secara baik dan lembut, tidak kasar. Menghancurkan hujjah hujjah palsu mereka untuk menolak Khilafah, yang sesungguhnya adalah ide sekularisme yang kufur. Kemudian menegakkan hujjah-hujjah yang benar kepada mereka bahwa kewajiban Khilafah adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi, kecuali bagi orang-orang kafir atau munafik yang sombong terhadap kebenaran. [Majalah al-wa'i, Edisi 47, July 2004]

Kriteria seorang Da’i

Keberhasilan dakwah tidak akan terlepas dari peran serta perangai seorang da’i yang didukung oleh ilmu dan pengetahuannya yang luas, baik tentang agama maupun masyarakat. Di samping ilmu, da’i juga tidak boleh memperkecilkan keikhlasan, ibadah dan akhlak mulia, kerana tanpanya da’wah akan gagal. Di dalam buku “Alaamat Duiyyah ‘Ala Thariq ad-Da’wah”, Dr. Muhammad Jamil Ghazi menukilkan perkataan Imam Sufyan at-Tsauri berhubung dengan masalah ini yaitu :

“Janganlah seseorang mengajak kepada ma’ruf dan mencegah kemungkaran melainkan jika ada padanya tiga ciri: 1. Berlemah lembut dengan apa yang diseru dan dicegah, 2. Adil dengan apa yang diseru dan dicegah, 3. Berilmu berhubungan dengan apa yang diseru dan dicegah.”

Hal serupa juga ditekankan oleh Imam Abu Laith As-Samarqandi di dalam kitab “Tanbihul Ghafilin”. Beliau membagikan persiapan umum da’i kepada lima:

“1. Ilmu, 2. Keikhlasan, 3. Kasih sayang dan kelembutan, 4. Kesabaran, 5. Mengamalkan apa yang disampaikan.”

Da’i yang sukanya mengutuk dan mencari kesalahan orang lain dan melupakan diri sendiri merupakan da’i yang terbabas dan tak ada padanya cahaya al-Quran dan as-Sunnah. Benarlah jika as-Syeikh Fathi Yakan berkata di dalam bukunya yang berjudul “Musykilat ad-Da’wah Wa ad-Daaiyah :”Seseorang da’i akan berada di dalam keadaan baik jika dia bersih dari keaiban dan penyakit diri sendiri walaupun musuhnya mempunyai kekuatan yang hebat.”

Sebenarnya, hal semacam ini pernah diucapkan oleh Khalifah Umar bin al-Khattab pada saat beliau menyampaikan amanat kepada tentara-tentara Islam. Beliau berkata:”Hendaklah kamu berwaspada terhadap perbuatan-perbuatan maksiat dibanding kewaspadaan terhadap musuh. Sesungguhnya aku lebih bimbang dengan dosa yang dilakukan oleh tentara-tentara Islam dibanding kebimbanganku terhadap musuh. Sesungguhnya umat Islam mendapat pertolongan daripada Allah lantaran kemungkaran yang dilakukan oleh pihak musuh. Oleh itu janganlah kamu melakukan perkara yang dimurkai Allah ketika sedang berjihad di jalan Allah.”

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulakan bahawa metode dakwah dilakukan berdasarkan pada obyek mad’u (sasaran dakwah). Jika mad’u itu dari golongan orang yang mengetahui maka perlulah penjelasan yang terperinci dan tegas besertakan dalil yang lengkap. Jika mad’u dari golongan orang yang kurang memahami islam yang sebenarnya maka barulah digunakan cara yang lembut. Akan tetapi jika mereka itu telah memeluk islam maka tidak boleh lari dari apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya kerana itu adalah tuntutan agama.

Namun tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu prinsip utama yang fundamental dalam ajaran Islam adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap umat manusia untuk memilih atau menolak suatu agama tertentu, berdasarkan keyakinannya. Seseorang dipersilakan menjadi seorang Muslim yang bersyukur, tunduk dan patuh akan ketentuan Allah SWT atau menjadi seorang yang kufur, menolak dan menentang ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam QS Al-Insaan:3 : “Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur, ada pula yang kafir”.

Bahkan ketika Rasulullah SAW memiliki keinginan kuat agar setiap orang beriman kepada Allah SWT, menjadi Muslim yang baik, dan bila perlu dengan pemaksaan dan tekanan, maka Allah SWT langsung mengingatkannya, dengan firman-Nya dalam QS Yunus:99-100 : “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya.

Juga firman-Nya dalam QS Al Baqarah:256 : “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya menguasai kembali kota Makkah (Futuh Makkah) setelah berhijrah ke kota Madinah selama kurang lebih sembilan tahun, dan pada saat itu kaum musyrikin Makkah sudah tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawannya (padahal dahulunya ketika mereka berkuasa, sangat kejam terhadap Rasulullah dan para sahabatnya), beliau tetap memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada mereka untuk tetap menjadi kafir atau menjadi Muslim. Beliau bersabda: “Kalian bebas merdeka di muka bumi ini, tidak ada kedengkian dan hasud di antara kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak ada hasil tanpa usaha tiada usaha tanpa hasil.

Koneksi Antar Materi – Modul 3.1 : Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran

Pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai se...