Hormon (dari bahasa Yunani, όρμή: horman - "yang menggerakkan") adalah pembawa pesan kimiawi antarsel atau antarkelompok sel. Semua organisme multiselular, termasuk tumbuhan (lihat artikel hormon tumbuhan), memproduksi hormon.
Hormon beredar di dalam sirkulasi darah dan fluida sell untuk mencari sel target. Ketika hormon menemukan sel target, hormon akan mengikat protein reseptor tertentu pada permukaan sel tersebut dan mengirimkan sinyal. Reseptor protein akan menerima sinyal tersebut dan bereaksi baik dengan mempengaruhi ekspresi genetik sel atau mengubah aktivitas protein selular,[1] termasuk di antaranya adalah perangsangan atau penghambatan pertumbuhan serta apoptosis (kematian sel terprogram), pengaktifan atau penonaktifan sistem kekebalan, pengaturan metabolisme dan persiapan aktivitas baru (misalnya terbang, kawin, dan perawatan anak), atau fase kehidupan (misalnya pubertas dan menopause). Pada banyak kasus, satu hormon dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon lainnya. Hormon juga mengatur siklus reproduksi pada hampir semua organisme multiselular.
Pada hewan, hormon yang paling dikenal adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar endokrin vertebrata. Walaupun demikian, hormon dihasilkan oleh hampir semua sistem organ dan jenis jaringan pada tubuh hewan. Molekul hormon dilepaskan langsung ke aliran darah, walaupun ada juga jenis hormon - yang disebut ektohormon (ectohormone) - yang tidak langsung dialirkan ke aliran darah, melainkan melalui sirkulasi atau difusi ke sel target.
Pada prinsipnya pengaturan produksi hormon dilakukan oleh hipotalamus (bagian dari otak). Hipotalamus mengontrol sekresi banyak kelenjar yang lain, terutama melalui kelenjar pituitari, yang juga mengontrol kelenjar-kelenjar lain. Hipotalamus akan memerintahkan kelenjar pituitari untu mensekresikan hormonnya dengan mengirim faktor regulasi ke lobus anteriornya dan mengirim impuls saraf ke posteriornya dan mengirim impuls saraf ke lobus posteriornya.
Pada tumbuhan, hormon dihasilkan terutama pada bagian tumbuhan yang sel-selnya masih aktif membelah diri (pucuk batang/cabang atau ujung akar) atau dalam tahap perkembangan pesat (buah yang sedang dalam proses pemasakan). Transfer hormon dari satu bagian ke bagian lain dilakukan melalui sistem pembuluh (xilem dan floem) atau transfer antarsel. Tumbuhan tidak memiliki kelenjar tertentu yang menghasilkan hormon.
Struma adalah perbesaran kelenjar tiroid yang menyebabkan pembengkakan di bagian depan leher (Dorland, 2002). Kelenjar tiroid terletak tepat dibawah laring pada kedua sisi dan sebelah anterior trakea. Tiroid menyekresikan dua hormon utama, tiroksin (T4), dan triiodotironin (T3), serta hormon kalsitonin yang mengatur metabolisme kalsium bersama dengan parathormon yang dihasilkan oleh kelenjar paratiroid (Guyton and Hall, 2007).
Kerja kelenjar tiroid ini dipengaruhi oleh kecukupan asupan iodium. Defisiensi hormon tiroid ini dapat menimbulkan gangguan tertentu yang spesifik. Cretinism, misalnya, yang ditandai dengan gangguan pertumbuhan dibawah normal disertai dengan retardasi mental merupakan akibat dari hormon tiroid yang inadekuat pada saat perkembangan janin. Kekurangan asupan yodium yang biasanya terjadi pada daerah goiter (gondok) endemis banyak terjadi karena defisiensi yodium menyebabkan hipotiroidisme sehingga mengakibatkan pembengkakan kelenjar.
F. HIPOTESIS
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hormon Tiroid dan Paratiroid
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke dalam sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida masuk ke dalam sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya terjadi iodinasi tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur oleh enzim iodinase. Kemudian, hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam folikel sel dalam jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh enzim protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar sel-sel tiroid. Keduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai afinitas yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat hormon tiroid tambahan (Guyton and Hall, 2007).
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master gland mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi TSH oleh hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih, sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya (Guyton and Hall, 2007).
Hormon paratiroid menyediakan mekanisme yang kuat untuk mengatur konsentrasi kalsium dan fosfat ekstrasel melalui pengaturan reabsorpsi usus, ekskresi ginjal, dan pertukaran ion-ion tersebut antara cairan ekstrasel dan tulang. Paratiroid hormone (PTH) meningkatkan kadar kalsium plasma dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat dari tulang dan usus, dan menurunkan ekskresi kalsium dan meningkatkan ekskresi fosfat oleh ginjal (Guyton and Hall, 2007).
B. Fungsi dan Efek Hormon Tiroid
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria, serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir (Guyton and Hall, 2007).
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat (SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain (Guyton and Hall, 2007).
1. C. Hipertiroidisme-Grave’s Disease
Hipertiroidisme adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi berlebihan dari hormon tiroid. Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer (Hermawan, 1990). Diagnosis hipertiroidisme didapatkan melalui berbagai pemeriksaan meliputi pengukuran langsung konsentrasi tiroksin “bebas” (dan sering triiodotironin) plasma dengan pemeriksaan radioimunologi yang tepat. Uji lain yang sering digunakan adalah pengukuran kecepatan metabolime basal, pengukuran konsentrasi TSH plasma, dan konsentrasi TSI (Guyton and Hall, 2007).
Grave’s disease atau toxic diffuse goiter merupakan penyebab paling sering dari tirotoksikosis dengan RAIU (radioactive iodine uptake) yang tinggi. Penyakit ini lebih umum terjadi pada usia 20-50 tahun. Kelaina ini merupakan penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidisme, goiter yang bersifat difus, dan adanya antibodi IgG yang mengikat dan mengaktifkan reseptor TSH. Penyakit Grave’s akan disertai gejala mata exopthalmus, akibat reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular (Gunawan et.al., 2007).
1. D. Penatalaksanaan Hipertiroidisme
Ada 4 golongan penghambat sintesis hormon tiroid, yaitu 1) antitiroid—menghambat sintesis hormon secara langsung; 2) penghambat ion—yang memblok mekanisme transpor iodida; 3) yodium dengan konsentrasi tinggi—yang dapat mengurangi sintesis dan pengeluaran hormon dari kelenjarnya; dan 4) yodium radioaktif—yang merusak kelenjar dengan radiasi ionisasi. Juga ada beberapa obat yang tidak berefek pada hormon di kelenjar, tetapi digunakan sebagi terapi ajuvan, bermanfaat untuk mengatasi ejala tirotoksikosis, misalnya antagonis reseptor-β dan penghambat kanal Ca++ (Gunawan et.al., 2007).
Penghambat sintesis seperti propiltiourasil (PTU) menghambat proses sintesis T4 dan T3, menghambat konversi T4 menjadi T3, serta menghambta kerja enzim peroksidase dalam proses iodinasi tirosin (Guyton and Hall, 2007). Pemberian iodida dalam dosis tinggi dapat “meringankan” hipertiroidisme, karena iodida dalam konsentrasi tinggi menghambat proses transpor aktifnya sendiri ke dalam tiroid, dan bila yodium di dalam tiroid terdapat dalam jumlah cukup banyak maka terjadi hambatan sintesis iodotironin dan iodotirosin (Gunawan et.al, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Faktor Regulasi
Faktor regulasi adalah senyawa kimia yang mengontrol produksi sejumlah hormon yang memiliki fungsi penting bagi tubuh. Senyawa tersebut dikirim ke lobus anterior kelenjar pituitari oleh hipotalamus. Terdapat 2 faktor regulasi, yaitu faktor pelepas (releasing factor) yang menyebabkan kelenjar pituitari mensekresikan hormon tertentu dan faktor penghambat (inhibiting factor) yang dapat menghentikan sekresi hormon tersebut. Sebagai contoh adalah FSHRF (faktor pelepas FSH) dan LHRF (faktor pelepas LH) yang menyebabkan dilepaskannya hormon FSH dan LH.
Hormon Antagonistik
Hormon antagonistik merupakan hormon yang menyebabkan efek yang berlawanan, contohnya glukagon dan insulin. Saat kadar gula darah sangat turun, pankreas akan memproduksi glukagon untuk meningkatkannya lagi. Kadar glukosa yang tinggi menyebabkan pankreas memproduksi insulin untuk menurunkan kadar glukosa tersebut.
Sistem Regulasi Manusia
System regulasi pada manusia terdiri dari sistem saraf, sitem endokrin/hormon, dan indra. Sistem saraf bekerja cepat dalam menganggapi perubahan, sedangkan sistem hormon bekerja lambat dalam. Indra adalah reseptor rangsang dari luar.
Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron). Sel saraf terdiri dari badan sel, inti sel, akson, dendrit, selubung myelin, sel Schwann, dan nodus ranvier. Sel saraf yang berfungsi menerima rangsang (reseptor) disebut saraf sensori. Sel saraf yang membawa rangsang dari otak menuju ke efektor disebut saraf motori. Sedangkan sel saraf yang menghubungkan neuron sensori dan neuron motori disebut neuron intermediat.
Penghantaran impuls pada sel saraf dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan muatan listrik pada sel saraf dan melalui sinapsis gerakan ada manusia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gerak biasa dan gerak refleks. Pada gerak biasa, rangsang melalui jalur neuron sensori-interneuron-otak-neuron motori-efektor.sedangkan gerak refleks tidak melalui otak tetapi melalui sumsum tulang belakang.
Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Otak terbagi menjadi otak besar (serebru), otak kecil (serebelum), jembatan varol, dan medulla oblongata (sumsum lanjutan). Setiap bagian otak memiliki fungsi yang berbeda-beda dalam mengatur kerja tubuh. Otak besar berfungsi sebagai pusat kesadaran, kecerdasan, ingatan, kenisfan, dan interpretasi kesan. Otak kecil sebagai pusat keseimbangan dan koordinasi motor/gerakan. Medulla oblongata berfungsi untuk mengatur denyut jantung, tekanan darah, gerakan pernafasan, sekresi ludah, menelan, gerak peristaltik, batuk, dan bersin.
Sistem saraf tepi merupakan sistem saraf yang berasak dari saraf-saraf yang keluar dari otak dan sumsum tulang belakang. Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf simpatetik dan parasimpatetik. Kerja kedua sistem saraf ini selalu berlawanan antagonis).
Sistem endokrin (hormon) pada manusia terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin, yang terdiri dari kelenjar hipofisis, pineal, hipotalamus, tiroid, paratiroid, timus, adrenal, pancreas, dan kelamin (testis dan ovarium).
Alat indra pada manusia ada lima macam, yaitu indra penglihat (mata), pencium (hidung), pendengar (telinga), pengecap (lidah), peraba dan perasa (kulit).
Reseptor pada mata disebut sel konus (kerucut) dan sel basilus (batang). Reseptor pada rongga hidung adalah sel-sel olfaktori. Reseptor pada teminga adalah organ korti. Reseptor pada lidah adalah tunas-tunas pengecap. Reseptor pada kulit adalah korpuskula pacini, ujung saraf ruffini, ujung saraf Krause, dan korpuskula meissner.
Pemakaian narkotika dapat mengganggu kerja sistem saraf. Narkoba dapat digolongkan menjadi stimulan (perangsang, seperti amfetamin dan kokain), depresan (penenag, seperti barbiturat, opium, morfin), dan halusinogen (mempegaruhi persepsi penglihatan dan pendengaran subjek dan juga peningkatan respon emosional.
Secara garis besar, hormon tiroid mempunyai fungsi: 1) meningkatkan aktivitas metabolik seluler, 2) hormon pertumbuhan, dan 3) mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik (seperti pada metabolisme dan sistem kardiovaskular), serta mempengaruhi sekresi sebagian besar kelenjar endokrin lain.
Dasar diagnosis hipertiroidisme meliputi uji pengukuran langsung konsentrasi T3 dan T4 bebas (FT4 dan FT3), dan juga pengukuran konsentrasi TSH dan TSI plasma. Selain pemeriksaan dengan radioimmunoassay itu, penegakan diagnosis juga dapat merujuk pada gejala klinis sebagai konsekuensi mekanisme fisiologi yang terganggu, seperti timbulya exopthalmus, pembengkakan kelenjar, atau tremor otot. Pembengkakan kelenjar ini kemudian harus diperiksa lebih lanjut lagi, apakah menimbulkan rasa nyeri atau tidak, karena diagnosis banding tiroiditis dapat mengarah ke gejala goiter koloid endemik dan juga gejala hipertiroidisme. Gejala klinis yang timbul kemudian dinilai dengan menggunakan suatu indeks sebagai dasar diagnosis sebelum pemeriksaan laboratorium, yaitu indeks Wayne dan indeks New Castle, yang dapat membedakan antara hipotiroidisme dengan hipertiroidisme.
Pada hipertiroidisme, konsentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu yang “menyerupai” TSH menyuruh kelenjar tiroid mensekresikan hormon tiroid sehingga terjadi hipertiroidisme. Bahan “menyerupai” TSH yang menyuruh cAMP aktif terus menerus ini adalah antibodi imunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin). Karena itu pada pasien hipertiroidisme, konsentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi “pesanan” tersebut, sel-sel sekretoris kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan, akibat proses metabolisme yang “keluar jalur” ini, terkadang penderita hipertiroidisme mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi, atau diatas normal juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler. Exopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokular, akibatnya bola mata terdesak keluar.
Hipotiroid mungkin terjadi karena pengangkatan sebagian kelenjar tiroid melalui pembedahan mungkin hanya menyisakan sedikit sel-sel sekretoris. Hipoparatiroid mungkin terjadi oleh karena ikut terangkatnya kelenjar paratiroid yang berada persis di belakang kelenjar tiroid. Akibatnya, sekresi PTH pun berkurang menjadi di bawah normal. Hiperparatiroid mungkin dapat terjadi karena tidak adanya efek kerja yang antagonis antara kalsitonin yang dihasilkan oleh sel-sel C kelenjar tiroid dengan PTH.
Penatalaksanaan yang paling efektif dalam kasus struma hipertiroidsme adalah pengangkatan sebagian kelenjar tiroid. Sebelum pelaksanaan tindakkan operatif ini, dapat digunakan yodium radioaktif atau obat-obat antitiroid sebagai terapi pendahuluan. Namun, tindakan bedah ini mempunyai beberapa efek yang tidak diharapkan namun mungkin saja timbul, seperti hipotiroid, hipoparatiroid, atau hiperparatiroid. Karena itu, pilihan terapi yang lebih aman adalah dengan menggunakan antitiroid, seperti propiltiourasil dan metimazol. Hal ini dapat mengurangi tindakan operatif beserta segala komplikasinya. Antitiroid dapat dikombinasikan dengan pemberian yodium radioaktif, yang merusak sel-sel sekretoris tiroid. Namun, terapi dengan pemberian yodium konsentrasi tinggi sudah mulai ditinggalkan karena kurang efektif, apalagi bila menjadi terapi tunggal hipertiroidisme.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. System regulasi pada manusia terdiri dari sistem saraf, sitem endokrin/hormon, dan indra. Sistem saraf bekerja cepat dalam menganggapi perubahan, sedangkan sistem hormon bekerja lambat dalam. Indra adalah reseptor rangsang dari luar.
2. Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron). Sel saraf terdiri dari badan sel, inti sel, akson, dendrit, selubung myelin, sel Schwann, dan nodus ranvier. Sel saraf yang berfungsi menerima rangsang (reseptor) disebut saraf sensori. Sel saraf yang membawa rangsang dari otak menuju ke efektor disebut saraf motori. Sedangkan sel saraf yang menghubungkan neuron sensori dan neuron motori disebut neuron intermediat.
3. Fungsi utama hormon tiroid adalah meningkatkan aktivitas metabolik seluler, sebagai hormon pertumbuhan, dan mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik seperti sistem kardiovaskuler dan regulasi hormon lain.
4. Diagnosis hipertiroidisme mengacu pada hasil pemeriksaan TSH, FT4, FT3, TSI, dan indeks Wayne dan indeks New Castle berdasarkan gejala klinis yang timbul.
5. Penyebab terjadinya hipertiroidisme adalah TSI yang mengambil alih regulasi yang seharusnya dilaksanakan oleh TSH.
6. Efek samping pembedahan yang mungkin timbul bisa saja terjadi akibat letak kedua kelenjar yang berdekatan dan fungsinya yang antagonis.
7. Penatalaksanaan hipertiroidisme meliputi tindakan bedah dan pemberian bahan penghambat sintesis tiroid, seperti antitiroid, penghambat ion iodida, yodium konsentrasi tinggi, dan yodium radioaktif.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Hermawan, A. Guntur. 1990. Cermin Dunia Kedokteran No. 63, 1990. Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroidi.
Akses tanggal 20 Ferbruari 2009, 14:30 di http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16_PengelolaandanPengobatanHipertiroidi.pdf/16_PengelolaandanPengobatanHipertiroidi.html
http://damaqoriy.blogspot.com/2010/04/sistem-regulasi-manusia.html
“Education is the passport to the future, for tomorrow belongs to those who prepare for it today.”
Koneksi Antar Materi – Modul 3.1 : Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran
Pandangan Ki Hajar Dewantara dengan filosofi Pratap Triloka memiliki pengaruh terhadap bagaimana sebuah pengambilan keputusan sebagai se...
-
Khasiat surat ali imron ayat 9 Telah berkata Syeikh Za'far Al-Khuldi " Tatkala aku berpamitan pulang pada Syeikh Abu Hasan As-Suuf...
-
a. Spermatogenesis Pembentukan sel sperma terjadi di dalam testis atau buah zakar. Spermatogenesis bermua dari sel induk sperma atau sperm...
-
Informasi genetik menyimpan semua data perjalanan hidup seorang manusia. Sementera manusia akan meninggal dunia. Bagaimana caranya mewariska...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak ada hasil tanpa usaha tiada usaha tanpa hasil.